Ditulis oleh Ihda Arifin Faiz, SE, M.Sc.,CMA, CIBA (Founder Revival Islamic Governance)
Dalam suatu forum diskusi, terbersit satu pertanyaan terkait perekonomian islam, memang ada ya? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu kita harus memahami terlebih dahulu bagaimana menempatkan pola fikir dan cara berfikir (qaidah fikriyyah) atas suatu fakta untuk nantinya dihukumi secara syar’i. Dalam berislam (memahami dan menjalankan syariat islam), beberapa kalangan menggunakan pendekatan tekstual (zhahir) ataupun kontekstual (konten atau hakikat) dalam membaca dan memahami dalil syara’ untuk menentukan hukum syara’ atas fenomena atau obyek yang diamati. Menurut saya, kedua pendekatan ini bukanlah dikotomis tetapi dua kutub yang bisa saling terhubung (continuum). Misalnya dalam membaca dalil terkait islam dan kafir. Dalil menyebutkan orang yang disebut islam adalah mereka yang telah bersyahadat, tetapi terdapat juga dalil kriteria seseorang disebut kafir yang dapat difahami secara tekstual (yang tampak dan terucap) ataupun kontekstual (aspek keperilakuan dan tanda tertentu). Dalam memahami syariat ibadah (sholat misalnya) ada ketentuan syariat yang harus difahami zhahirnya (jumlah dan tata cara) dan ada pula yang mengarah pada aspek konten (mencegah kemungkaran, dst). Begitu halnya syariat islam terkait muamalah. Apakah ketentuan syariat atas pelaksanaan perekonomian harus difahami secara zhahir (tekstual) saja, makna saja atau kombinasi? Dalam pertanyaan yang disampaikan oleh dalam forum tersebut misalnya, ada penanya yang ingin ingin tahu dari pendekatan konten (makna atau hakikat) sistem ekonomi islam atas perekonomian yang ada saat ini dengan pertanyaan apakah apabila suatu negara mampu mewujudkan beragam bentuk keadilan ekonomi, kesejahteraan, distribusi pendapatan, dst yang merupakan harapan utama perekonomian dapat dikatakan sebagai sistem ekonomi islam(i)? Atau masuk kategori sistem ekonomi kafir karena masih menggunakan elemen keuangan konvensional (bank, riba, dst), bersandar pada pajak untuk penerimaan, dst?
Perlu difahmai bahwa syara’ juga memberikan ketentuan dalam bermuamalah (berhubungan dengan sesama, termasuk aspek ekonomi). Sebagian ahli ushul fiqh menyatakan bahwa kaidah dalam menarik dalil syara’ menjadi hukum syara’ dalam muamalah adalah bahwa hukum asal muamalah adalah boleh, kecuali yang telah ditentukan secara khusus oleh syara’. Ini berbeda dengan pendekatan dalam ibadah. Istilah islam dan kafir lebih ditujukan pada subyek hukum syara’ yaitu manusia. Adapun kategori sistem perekonomian, sebagian kalangan membagi berdasarkan konsep dasar pembentukan sistem tersebut (kapitalis, sosialis, islam atau kategori semisal). Untuk itu perlu kiranya kita belajar Bersama, apa saja yang diatur oleh syara’ atas bidang ekonomi yang menjadi kajian kita (apa saja yang wajib, haram, boleh, dst). Sebagai contoh, dalam postingan sebelumnya ada yang menyampaikan berita tentang pendapat Dr Irwandi Tarmidzi atas penggunaan pajak dalam perekonomian dengan menukil hadis yang secara tekstual melarang pungutan pajak. Atas dalil (hadis) ini ada sebagian yang mengartikan tektual al muksu sebagai pajak, ada juga yang prefer pada pendekatan konteks, makna, substansi, tujuan, dst.
Dalam hal kajian modern terkait perekonomian dari tinjauan islam, beberapa pakar mengembangkan maqashid Syariah sebagai suatu pendekatan konten (hakikat) apabila tidak mendapati hukum spesifik terkait kajian ekonomi kontemporer. Dengan demikian apabila kita ingin mencari Batasan (ciri) dari aturan syara’ atas perekonomian maka mari kita belajar bersama apa dan bagaimana syara’ memberikan aturan atas hal yang secara khusus dibahas terhadap bidang perekonomian. Berdasarkan beberapa hal tersebut sebelumnya maka kita akan dapat merumuskan Batasan serta aspek operasional hukum syara’ atau sistem ekonomi islam. Adapun tujuan ekonomi islam untuk mencapai ridha dari Allah SWT merupakan hal pokok yang kita sepakati Bersama. Tetapi unsur dan Batasan teknis dan operasional, seringkali perlu pemahaman yang tepat atas penarikan dalil syara’, fakta atau empiris obyek kajian serta ketepatan atas penarikan hukum terhadap obyek yang dikaji.
Jika ada pertanyaan apakah islam juga mendasarkan pada mekanisme pasar dalam penentuan harga? Untuk menarik hukum atas fakta ini kita juga perlu mengkaji dalil, fakta empiris, dan ketapatan penarikan hukum. Dalil syara’ menyebutkan beberapa larangan atas faktor yang mempengaruhi distorsi harga pasar misalnya larangan mencegat penjual di jalan sebelum sampai pasar, penimbunan, dst. Dari beragam ketentuan tersebut dapat dimaknai bahwa islam juga menggunakan mekanisme pasar efisien dalam penentuan harga secara fair. Hal lain misalnya apakah islam juga memberikan Batasan atas kepemilikan individu? Perekonomian kapitalis memberikan kebebasan atas kepemilikan individu, tetapi syara’ memberikan ketentuan dalam aspek kepemilikan menjadi tiga yaitu kepemilikan pribadi, kepemilikan umum dan kepemilikan negara.
Pertanyaan mendasar adalah apakah ada sistem ekonomi islam? Jika ada bagaimana ciri yang membedakan dengan ekonomi lain? Untuk menjawab ini tentu kita harus menelusur lebih dalam apakah syariat islam memberikan dalil eksplisit atas urusan ini (perekonomian) dan fakta atas bidang perekonomian yang kita pelajari selama ini? Jawaban atas pertanyaan tersebut dijawab dengan cerdas oleh Syeikh Taqiyyudin An Nabhani yaitu dengan kita membedah asas atau prinsip utama perekonomian. Asas perekonomian sebagai bidang kajian membahas dua hal utama yaitu terkait resources (harta atau sumberdaya/SD) baik dalam bentuk benda (produk) ataupun jasa baik atas aspek pemanfaatan dan pengembangan SD ataupun perolehannya.
Bagaimana penjelasan teknis atas konsep tersebut? Yuk belajar bersama dalam Revival Islamic Governance (RICG).