Kepercayaan Publik

Oleh: Ihda Arifin Faiz (Dosen Akuntansi Sektor Publik UGM)
Republika, 13 Juli 2021

Kepercayaan adalah modal dasar dan utama dalam hubungan ‘transaksional’ suatu entitas, terlebih sektor publik. Kepercayaan menjadi pondasi kolegial untuk mencapai suatu mimpi yang ingin diraih bersama, untuk membangun bangsa, melanjutkan pertumbuhan berkelanjutan bahkan mimpi peradaban di masa depan. Runtuhnya kepercayaan menjadi indikator pudarnya ikatan yang dibangun dan selanjutnya akan menghapus mimpi dan tujuan yang dibangun. Dalam konteks bernegara, ketidakpercayaan pada pemerintah secara perlahan akan menggerus segala bentuk ‘ikatan’ diantara public dan government. Kondisi ini jika terus berlanjut merupakan lampu kuning mulai pudarnya beragam simpul ikatan kenegaraan. Tumbangnya rezim adalah konsekuensi logis yang ‘ringan’, lebih jauh lagi jika petahana memaksa bertahan tidak mustahil menimbulkan chaos dan krisis multidimensi. Penting untuk merawat kepercayaan publik terhadap pemerintah, dengan melihat secara tepat simpul kritis yang membangunnya dengan memperhatikan kondisi zaman dan karakter publik yang terlibat.

Biaya Modal Sosial
Penurunan pendapatan per kapita Indonesia, dan menjadikannya menjadi negara menengah ke bawah, menunjukkan indikator defisiensi kepercayaan publik terhadap pemerintah. Kegagalan pasar (market failure) oleh Bator (1958) memunculkan gagasan peran pemerintah dalam menjaga pasar. Pilar penopang pemerintah yang utama adalah kepercayaan publik, baik pada figure ataupun sistem yang dijalankan. Bahkan dalam kondisi ekstrem, perekonomian yang stagnan dan bahkan utang yang besar, tidak akan terjadi shutdown jika publik masih memiliki kepercayaan terhadap pemerintah.

Jika dalam perbankan dan keuangan dikenal a lender of last resort (LoR) sebagai institusi publik yang memberikan jaminan bagi publik atas pengelolaan dana pada lembaga keuangan suatu negara, maka demikian seharusnya berlaku pada kepercayaan publik. Kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan pada sistem ekonomi merupakan modal utama keberlangsungan sistem dan mekanisme keuangan yang selama ini dibangun. Krisis perbankan yang merembet pada krisis politik serta multidimensi pada tahun 1998 merupakan contoh konkrit runtuhnya kepercayaan publik pada lembaga keuangan dengan mendapatkan momentum merembet pada bidang politik dan perubahan sosial di masyarakat. Inilah dampak penularan (contagious effect) ketidakpercayaan publik terhadap rezim saat itu yang muncul dari simpul perbankan. Saat ini hampir sulit mendapati entitas publik yang memberikan jaminan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Ketidaksatuan dalam instruksi, kebijakan, istilah dan saling mengoreksi antar instansi merupakan fenomena harian yang berdampak pada ketidakpercayaan publik.

Disamping itu tebang pilih dalam penegakan hukum dan kekhususan pada para elit kalangan penguasa dan pengusaha menjadikan para alit kebingungan mencari pemimpin terpecaya. Masyarakat lebih percaya referensi dari grup pertemanan dan media sosial yang lebih dekat dengan mereka. Untuk mengetahui apa itu makhluk virus corona, bagaimana mencegah dan menanganinya, mereka sulit merujuk pada istilah yang melangit dan sulit.

Utang Janji
Untuk membangun kembali ikatan yang telah rusak tampaknya lebih mahal dibanding memulainya dari awal. Ada bekas ingatan black stain yang menjadi noda. Pada titik inilah, masyarakat akan panic dan irasional. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh pihak tertentu yang ‘mengambil untung’ dari disorientasi kepercayaan dan preferensi publik.

Dalam bisnis dan ekonomi, defisit anggaran dapat diatasi dengan utang yang manageable. Bahkan diktum para pebisnis, utang adalah leverage (pengungkit) yang memungkinkan bisnis dapat berakselarasi secara cepat. Begitu halnya defisit anggaran publik, pemerintah memiliki opsi yang luas untuk menggunakan beragam instrumen pembiayaan dengan tujuan pencapaian target makroekonomi dan fiskal. Lain halnya dengan defisit kepercayaan publik. Pada awalnya janji merupakan salah satu instrumen ampuh daya tarik bagi publik terhadap figure politik tertentu. Hanya saja jika janji tersebut tidak ditepati, terlebih jika dialihkan dengan janji lain, maka dapat dikatakan sekedar lip service.

Defisit fiskal periode sebelumnya secara kumulatif dapat dinegosiasi, dijadwal ulang (reschedule) atau kreatif mencari instrumen pembiayaan lain. Akan tetapi, defisit kepercayaan publik secara kumulatif hanya akan menimbulkan kondisi politik, sosial dan ekonomi suatu negara semakin memburuk. Jika janji adalah utang, maka apakah paradigma pengelolaan publik saat ini hanya berprinsip dua hal, utang dan janji?

Menarik bukan? Semoga bermanfaat ya. Yuk baca artikel lain di website kami https://www.revivalcons.com/article/ Jangan lupa juga ikuti Social Media kami lainnya di linktr.ee/revivalislamicgovernance

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *