Mengapa Negara Mempertahankan Devisit Anggaran

Oleh: Ihda Arifin Faiz (Penulis Buku Fintech Syariah dan Bisnis Digital)

Pengelolaan keuangan negara merupakan kajian yang penting untuk mendukung tercapainya
tujuan negara yang termaktub dalam konstitusi dasar, terutama tujuan periode tahunan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah bersama wakil rakyat dalam bentuk Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Seberapa cermat dan kompeten pemerintah mengelola bidang
fiskal ini, terutama Menteri Keuangan, akan menentukan keberhasilan capaian indidaktor
yang telah ditentukan tersebut. Dalam perkembangannya, tidak banyak pihak yang
memahami dengan benar bagaimana pengelolaan keuangan negara ini seharusnya dijalankan.
Faktor apa saja yang menentukan keberhasilan pencapaian target? Apakah tepat apabila
negara menggunakan rezim anggaran defisit?
Pada umumnya, sebagian kalangan menganggap bahwa pengelolaan keuangan negara
tidak jauh berbeda dengan model pengelolaan keuangan di bisnis dan korporasi. Kalaupun
ada yang paham perbedaan tersebut, mereka memahami bahwa kunci perbedaan keduanya
adalah pada orientasi entitas yang mengelolanya. Pada pengelolaan keuangan negara,
orientasi pemerintah tentu tidak untuk mencari untung (not-for-profit oriented) akan tetapi
menjadi watchdog perekonomian nasional agar berjalan secara fair, yakni sesuai dengan
kaidah perekonomian pasar. Dasarnya adalah amanat konstitusi agar tercapai kemakmuran
masyarakat secara menyeluruh. Adapun orientasi pengelolaan keuangan di bisnis tentu saja
mendapatkan keuntungan (for-profit oriented) untuk dapat memaksimalkan kekayaan pemilik
(shareholder).
Isu penting ini sangat terkait dengan beberapa topik populer dan penting yang sering
dibahas secara luas oleh publik, diantaranya adalah utang negara, pengelolaan aset negara,
struktur fiskal, model pengelolaan fiskal dan beberapa isu penting keuangan negara lainnya.
Hanya saja, tidak banyak yang memahami dan mendiskusikan topik ini sebagai salah satu
pondasi penting pemahaman atas pengelolaan keuangan negara. Bisa jadi karena referensi
terkait sangat kurang, sehingga para akademisi tidak banyak yang mengupasnya. Atau
kalaupun ada sebagian praktisi yang telah lama bergelut secara langsung dengan bidang ini,
mereka tidak dibekali dengan pemahaman yang tepat.

Kebijakan Defisit Anggaran
Anggaran merupakan perencanaan kegiatan suatu entitas untuk periode mendatang yang
diwujudkan dalam satuan rupiah. Kebijakan anggaran merupakan bentuk moneterisasi dari
rencana kegiatan sehingga terlihat alur kegiatan dalam ukuran keuangan. Proses
penganggaran di sektor publik (pemerintah dan nonpemerintah) sangat berbeda dengan sektor
privat Ibisnis) (Faiz, 2020). Penganggaran di sektor bisnis berorientasi pada target
penerimaan, sedangkan penganggaran di sektor publik berorientasi pada pengeluaran

(belanja). Kondisi ini tentu berimbas pada potensi munculnya defisit pada penganggaran
sektor publik akan lebih besar
Rezim defisit anggaran (deficit budgeting) merupakan suatu konsep pengelolaan keuangan
negara di tahap penganggaran dengan memberikan pengutamaan (prioritas) pada akun
pengeluaran dibanding penerimaan sehingga mengakibatkan terjadinya selisih negatif
(defisit) pada struktur anggaran yang disusun. Disebut rezim karena merupakan pilihan yang
dapat diambil oleh pemerintah sebagai konsekuensi orientasi kebijakan dan fundamental
konsep keuangan yang dijalankan. Secara teknis, defisit anggaran adalah suatu kondisi
dimana perencanaan keuangan (anggaran) memberikan porsi lebih besar pada pengeluaran
dibandingkan pendapatan. Pemerintah dapat juga memilih kebijakan anggaran lain, misalnya
anggaran berimbang (balance budgeting) ataupun anggaran surplus (surplus budgeting).
Lalu mengapa pemerintah memilih anggaran defisit? Untuk menjawab pertanyaan ini
tidak mudah. Secara sederhana, pilihan defisit anggaran merupakan konsekuensi dari
orientasi perekonomian yang bersifat ekspansif yakni mengejar pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator capaian keberhasilan perekonomian
karena menjadi parameter berkembangnya seluruh unsur perekonomian.
Disamping itu, dalam penyusunan anggaran negara akan diperlukan beberapa asumsi dan
target yang harus dicapai. Beberapa asumsi yang dibutuhkan dalam penganggaran negara
diantaranya adalah asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar, harga minyak mentah dan suku
bunga. Adapun target yang ditetapkan dalam setiap penganggaran adalah pertumbuhan
ekonomi, lifting minyak, lifting gas dan inflasi. Keduanya merupakan asumsi dasar ekonomi
makro yang menjadi landasan dalam penyusunan penganggaran. Dengan adanya asumsi
dasar ekonomi makro sebagai landasan dalam penyusunan anggaran maka pemerintah tidak
mudah untuk menghindari utang dengan menerapkan defisit anggaran.

Jika sektor privat (rumah tangga dan bisnis) mengelola keuangannya dan dapat berutang
maka keputusan berutang tersebut hanya akan berimbas pada institusi sendiri. Lain hanya
dengan dengan pemerintah. Sebagai regulator, pemerintah memiliki tugas untuk menjaga
perekonomian agar tetap tumbuh, stabil dan memastikan perekonomian berjalan secara fair.
Terlebih pandangan Keynes yang menekankan pentingnya peran pemerintah dalam
mendorong perekonomian telah banyak dianut oleh para ekonom.
Kebijakan fiskal pada dasarnya terbagi menjadi dua model yaitu ekspansif dan kontraktif
(Ramadhani, 2014). Kedua pendekatan tersebut didasarkan pada terjadinya gap (perbedaan)
antara kondisi riil output perekonomian dibandingkan potensi yang dimiliki oleh suatu
negara. Apabila terjadinya kondisi dimana potensinya lebih besar dibandingkan kenyataan
maka digunakan kebijakan fiskal ekspansif. Kebijakan ini dilakukan dengan cara menaikkan
pengeluaran pemerintah atau menurunkan pendapatan pajaknya agar output perekonomian
dapat meningkat. Sebaliknya, apabila output riil perekonomian lebiih besar dibandingkan
potensinya maka dapat diambl kebijakan fiskal kontraktif. Kebijakan ini dilakukan dengan
cara menurunkan belanja (pengeluaran) atau meningkatkan pendapatan pajaknya. Tujuannya
adalah agar perekonomian tidak terlalu memanas (overheating) dimana permintaan
meningkat yang tidak diimbangi dengan penawaran atau produksinya sehingga berimbas
pada kenaikan inflasi.

Framework Ekonom Konvensional
Pengelolaan keuangan sektor publik memang terlambat dibanding sektor bisnis. Sebagian
besar ekonom awal berfokus pada suksesi hipotesis pasar bebas yang digagas oleh mazhab
klasik. Hanya saja, setelah terjadinya depresi besar (the great depression) di tahun 1929
akhirnya meruntuhkan kredo pasar bebas tersebut. Pada perjalanannya, muncul gagasan
pentingnya peran pemerintah dan kegagalan pasar (Iqbal & Khan, 2004). Stiglitz dan
Rosengard (2015) menguraikan bagaimana pengalaman Amerika Serikat menghadapi kondisi
anggaran defisit dengan beragam kebijakan pengelolaan anggaran melalui diantaranya
dengan peningkatan pajak individu, pembatasan pertumbuhan belanja dan penguatan
ekonomi.
Pada awalnya, terdapat pandangan yang cukup luas diterima oleh para ekonom terkait
defisit ekonomi yaitu bahwa kondisi defisit keuangan yang menyebabkan negara berhutang
untuk memenuhi kekurangan pendanaan tidaklah merupakan permasalahan mendasar.
Mereka menganggap, utang negara dan utang masyarakat (keduanya disebut sebagai utang
publik) pada dasarnya akan ditanggung oleh setiap pihak tersebut. Kenyataannya utang akan
berimbas pada besarnya investasi dan upah mendatang serta produktivitas. Biaya bunga utang
juga akan berimbas pada distorsi perekonomian. Apabila utang tersebut merupakan utang
negara, yang terjadi justru akan menimbulkan kontra investasi (crowding out) terutama di
sektor privat (Stiglitz & Rosengard, 2015). Secara teknis, peneriman yang diperoleh setiap
pelaku perekomomian akan tergerus untuk membayar utang sehingga secara bersih (net)
terjadi penurunan pendapatan.
Pendapat ini didukung oleh David Richardo dalam Ricardian equivalence, yang
menyatakan bahwa meskipun setiap rumah tangga memiliki tabungan yang dapat digunakan
untuk membayar utang, kondisi tersebut tidak mampu menghapus dampak utang. Secara
umum, Miller et.al. (1990) menyatakan bahwa keuangan defisit dapat menimbulkan
kecemasan dan berimbas psikologis yang sering disebut sebagai psychological crowding out
concept.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *